Selamat datang . . .

MEMBANGUN SINERGI DENGAN MENGGUNAKAN GOOD GOVERNANCE

Membicarakan tentang Governance, berarti membicarakan tentang tata kelola pemerintahan, sinkronisasi antara tiga pilar, yaitu
1.      Pemerintah.
Yang di percaya menangani administrasi negara pada suatu periode tertentu, di mana orang-orangnya memiliki kredibilitas di mata masyarakat. Kelembagaan pemerintahan, dalam konteks ini, termasuk di dalamnya adalah lembaga legislatif dan yudikatif. Kebijakan publik di buat atau di putuskan oleh pemerintah, namun dalam prosesnya selalu memperhatikan aspirasi-aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, demikian pula
revisi atau perubahan-perubahannya.
2.      kelompok bisnis/swasta.
Yang terdiri dari badan-badan usaha swasta yang bergerak di bidang pelayanan publik atau produk dan jasa yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Kalau dalam negara yang sosialistik (dalam artian ortodoks), negaralah yang menangani seluruh urusan termasuk melakukan usaha. Di negara yang mengimplementasikan faham liberalistik, pemerintah juga memberi kebebasan dan melindungi usaha-usaha yang di lakukan oleh masyarakat swasta. Namun, dalam praktik, pihak swasta pun harus berupaya menciptakan kepuasan terhadap masyarakatnya, dan apabila bertentangan dengan arus kepentingan publik, maka eksistensinya juga akan selalu terancam.
3.      Masyarakat.
Secara ideal sebenarnya seluruh anggota masyarakat mengambil peran aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan publik, pemerintahan, dan pembangunan. Namun dalam praktinya, kondisi seperti itu sulit di capai, sehingga terjadinya penyerdehanaan dalam wujud representasi masyarakat.

Governance adalah sebuah konsep sentral dan basic, pedoman dalam mengelola dan memformat tata kelola pemerintahan yang baik dan sehat(Good Governance) atau tata kelola pemerintahan yang buruk (Bad Governance). Konsep Governance itu sendiri banyak di jadikan sebagai tilik-bidik pengkajian, yang menghasilkan beragam definisi, antara lain:
1.      Cagin (Dwiyanto, 2002) yang mengemukakan bahwa konsep Governance merujuk pada Institusi, proses, dan tradisi yang menentukan bagaimana kekuasaan di selenggarakan, keputusan di buat, dan suara warga “didengar”
2.      Institute on Governance (IOG) yang mengemukakan bahwa Governance refers to the institutions, processes & traditions which define how powers is exercised, how decisions are made, and how decisions are made on issues of public concerns.
3.      Alatas, Syed Hussein. 1987, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES mengemukakan bahwa Governance mengarah kepada penataan hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara, antar lembaga pemerintah, termasuk juga hubungannya dengan masyarakat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan dalam suatu negara demokrasi.
Mewujudkan good governance bukan suatu hal yang mudah, apalagi kita berhadapan dengan persaingan global yang mendesak kita kepinggir.Maka good governance merupakan suatu keharusan bagi kita yang sudah masuk dalam komunitas global. Birokrasi merupakan instrumen yang sangat penting bagi penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menjadi katalisator prakarsa dengan potensi yang di miliki oleh swasta dan masyarakat. permasalahannya, Bagaimana manajemen kinerja yang efesien dan efektif dalam mewujudkan good governance ? Manajemen sebagai proses penyelenggaraan berbagai kegiatan dalam rangka penerapan tujuan dan sebagai kemampuan atau keterampilan orang yang menduduki jabatan manajerial untuk memperoleh sesuatu dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain (Sondang P. Siagian, 2004)
Untuk mewujudkan suatu Good Governance, di perlukan adanya kesesuaian, keselarasan kerjasama dari tiga pilar. Adapun kerjasama yang di maksud antara lain: bentuk atau model kerjasama, aspek kerjasama, prinsip-prinsip yang menuntun keberhasilan kerjasama tersebut, dan macam pendekatan beserta contoh kasusnya.

Pembahasan
1. Kerja Sama
Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya, bahwa Governance merupakan dasar atau pedoman dalam menciptakan suatu system birokrasi pemerintahan. Namun baru bias terwujud apabila adanya kerja sama antara ketiga pilar. Pada bahasan ini, saya akan menjelaskan apa saja bentuk kerjasama itu, mengapa kerjasama itu penting di lakukan, serta contoh dan dalam bidang apa saja kemungkinan kerjasama itu terjadi.
Secara teoritis, istilah kerjasama (cooperation) telah lama di kenal dan di konsepsikan sebagai suatu sumber efisiensi dan kualitas pelayanan. Dalam beberapa kasus, kerjasama sangat di perlukan, di antaranya:
Ø  Memberikan keuntungan dalam hal pembelanjaan atau pembelian bersama, maksudnya apabila kerjasama tersebut di lakukan dalam skala yang besar, maka akan tampak menguntungkan di bandingkan dengan skala kecil.
Ø  Memberikan hasil yang memuaskan dalam hal investasi, misalnya seperti dalam penyediaan fasilitas dan peralatan serta pengangkatan spesialis dan administrator.
Ø  Menigkatkan kualitas pelayanan.
Dengan kerjasama, fasilitas pelayanan yang mahal harganya dapat di beli dan di nikmati bersama, seperti pusat rekreasi, pendidikan orang dewasa, transportasi, dsb.

Salah satu contoh kasusnya saya ambil dari sebuah buku yang berjudul Public Administration and Public Affairs yang ditulis oleh N. Henry pada tahun 1995, yaitu tentang kepolisian dan pemadam kebakaran dimana antara satu kota dengan kota lain telah dilakukan perjanjian kerjasama saling bantu membantu menghadapi krisis seperti kebakaran dan bencana lainnya. Dalam perkembangan lanjutan, mekanisme kerjasama ini tidak hanya diterapkan pada situasi “emergency” saja tetapi juga pada pengaturan kerjasama untuk membeli jenis-jenis pelayanan tertentu dari perusahaan swasta atau dari pemerintah lain.

Contoh di atas merupakan salah satu bentuk kerjasama yang sebenarnya masih memiliki kendala-kendala yang tidak menutup kemungkinan akan menghambat laju keseimbangan dan terciptanya sebuah Good Governance. Maka, dalam pengada’an kerjasama harus mendasarkan atau berpedoman pada beberapa factor yang merupakan kunci sukses dalam menciptakan suatu keseimbangan dan kelancaran, kunci sukses atau factor tersebut antara lain:
1.      Kepercayaan dan kesungguhan untuk berhasil yang tinggi di antara mereka (pilar) yang melakukan kerjasama.
2.      tidak mudah menyerah atau mudah mengganti-ganti pendekatan setiap menemukan berbagai kendala teknis.
3.      Melakukan pengecekan antara yang bekerjasama dengan di dasarkan pada transparansi objektif.
4.      Profesionalitas dan etika yang tinggi.
  
2. Aspek Kerjasama
Dalam praktek good governance perlu di kembangkan indikator keberhasilan pelaksanaan good governance. Keberhasilan secara umum dapat di lihat dari indikator ekonomi dan Politik. Keduanya tersebut bisa di katakan sebagai basis utama penetapan suatu Good Governance. Basis Politik member arahan atau kiblat atau orientasi proses politik di sebuah Negara atau ranah tertentu. Sedangkan basis ekonomi berkaitan dengan landasan orientasi kegiatan ekonomi, yakni orientasi pasar atau non pasar. Interaksi dua basis atau indicator ini menciptakan empat tipologi governance (Dr. Syakrani, MS dan Dr. Syahriani, MSi dalam bukunya Implementasi Otonomi daerah), yakni libertarian Governance, Corporatist Governance, Communitarian Governance, dan Statist Governance.

Libertarian Governance dalam Politik: Terjadi apabila warganegara memiliki control yang kuat terhadap proses politik, termasuk terhadap recruitment elite politik oleh partai politik. Ekonomi: terselenggaranya mekanisme pasar dalam seluruh transaksi ekonomi atau perdagangan yang bersandar pada nilai-nilai kapitalisme dan neoliberalisme merupakan indicator tersahih terlembaganya Good economic Governance. Pengasosiasian konsep Good Governance dengan pendalaman visi IMF, Bank Dunia, WTO atau kapitalisme global ke Negara-negara berkembang terkait dengan upaya pelembagaan Good Economic Governance yang di duga tidak pro-poor. Karena itu, perbincangan tentang Good Governance yang marak beberapa tahun terakhir di sini di kaitkan dengan konteks model Libertarian Governance.
Asosiasi ini semakin kental, dan bahkan mengarah pada penolakan, karena penguatan control warganegara terhadap proses politik, yang di anut dalam libertarian Governance, justru secara sembunyi-sembunyi di halangi oleh depersonalisasi elite politik (legislative dan Eksekutif). Maka secara lambat tapi pasti, sisi politik yang menjadi ajang public mengontrol perilaku elite politik tergadai oleh kepentingan jangka pendek. Sekarang warganegara bukan hanya menghadapi tuntutan mekanisme pasar, tetapi juga tak berdaya keluar dari ketidakberdayaannya menahan pengambil-alihan hak kontrolnya oleh elite politik. Proses ini menandakan sebuah pergeseran dari libertarian governance ke corporatist governance. Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah seluruh nilai-nilai atau prinsip-prinsip good Governance baik dalam model libertarian governance maupun corporatist governance relevan dengan konteks sosio-kultural lain?
Pertanyaan lain, apakah kita harus berpaling pada model-model lain, misalnya pada model communitarian dan statist governance?

Empat tipologi governance ini bukanlah tipe ideal untuk semua entitas. Sebagai contoh, dalam skala terbatas, mungkin model libertarian governance bisa diterapkan di perkotaan, sehingga menciptakan good governance, sedangkan di pedesaan mungkin model corporatist governance lebih berpeluang mewujudkan bad governance. Pada entitas-entitas tertentu, bisa jadi statist governance justru mampu mewujudkannya.

3. Prinsip terwujudnya Good Governance
Agar berhasil melaksanakan kerjasama tersebut di butuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana terdapat dalam prinsip good governance (Edralin, 1997). Beberapa prinsip diantara prinsip good governance yang ada dapat di jadikan pedoman dalam melakukan, menciptakan kerjasama antar pilar:
a.       Transparansi. Antara satu pilar yang satu dengan yang lainnya yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus transparan dalam memberikan berbagai data dan informasi yang di butuhkan dalam rangka kerjasama tersebut, tanpa ditutup-tutupi.
b.      Akuntabilitas. Masing-masing pilar yang telah bersepakat untuk melakukan kerjasama harus bersedia dan mengerti kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang terkait dengan kegiatan kerjasama.
c.       Partisipatif. Prinsip partisipasi harus di gunakan dalam bentuk konsultasi, dialog, dan negosiasi dalam menentukan tujuan yang harus di capai, cara mencapainya dan mengukur kinerjanya, termasuk cara membagi kompensasi dan risiko.
d.      Efisiensi. Dalam melaksanakan kerjasama antar pilar ini harus mempertimbangkan nilai efisiensi yaitu bagaimana menekan biaya untuk memperoleh suatu hasil tertentu, atau bagaimana menggunakan biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang lebih tinggi.
e.       Efektivitas. Dalam melaksanakan kerjasama antar pilar ini harus mempertimbangkan nilai efektivitas yaitu selalu mengukur keberhasilan dengan membandingkan target atau tujuan yang telah di tetapkan dalam kerjasama dengan hasil yang nyata diperoleh.
f.       Konsensus. Dalam melaksanakan kerjasama tersebut harus di cari titik temu agar masing-masing pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut dapat menyetujui suatu keputusan. Atau dengan kata lain, keputusan yang sepihak tidak dapat di terima dalam kerjasama tersebut.
g.      Saling menguntungkan dan memajukan. Dalam kerjasama antar pilar ini harus di pegang teguh prinsip saling menguntungkan dan saling menghargai. Prinsip ini harus menjadi pegangan dalam setiap keputusan dan mekanisme kerjasama.
h.      Profesionalitas. Dalam kerja sama antar pilar ini harus di pegang teguh prinsip Profesionalitas, karena prinsip ini sangat penting dalam menjalankan atau mewujudkan suatu tatanan kepemerintahan. Prinsip ini harus di junjung tinggi dan seharusnya menjadi pedoman dalam tiap kerja sama antar pilar.
i.        Etika. Prinsip ini tidak kalah pentingnya dengan prinsip – prinsip yang lainnya. Prinsip ini berkaitan dengan moral para pelaku kerja sama, di mana hal ini sangat menentukan keberhasilan terciptanya dan terwujudnya suatu Good Governance.

Apabila dalam kerjasama tersebut terjadi konflik atau friksi antar pilar, maka pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan interactionist, dan bukan pendekatan tradisional (Robbins, 1990). Pendekatan tradisional selalu mengasumsikan bahwa konflik adalah buruk, dan memberikan dampak yang negatif. Karena itu, menurut pendekatan tersebut, konflik harus dihindari karena dapat mengarah kepada kejahatan, tindakan destruktif dan irasional. Akan tetapi dalam pendekatan interactionist, konflik di lihat sebagai suatu stimulus untuk melakukan perubahan. Konflik harus di lihat akarnya, dan dari akar tersebut dapat di lakukan berbagai perbaikan dan pembaharuan. Konflik harus di lihat sebagai indikator untuk menginisiasi perubahan. Untuk mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam konflik tersebut, di perlukan kemampuan yang memadai untuk bertindak sebagai negosiator, fasilitator, mediator dan komunikator (Mayer, 2000). Untuk bahasan masalah macam pendekatan dan konflik yang mungkin terjadi, akan di jelaskan pada point berikutnya.

4. Pendekatan yang dilakukan
Pendekatan-pendekatan dalam mewujudkan suatu Good Governance merupakan salah satu bentuk dan usaha serta sumber dalam hal partisipasi. Partisipasi ini bertujuan menyinergikan, menginovasi system birokrasi yang telah ada sehingga di perbaiki dan kemudian di harapkan bisa memajukan suatu tata kelola pemerintahan yang prima. Dalam bahasan ini, saya mencoba menjelaskan pendekatan-pendekatan serta contoh pendekatannya apa saja yang mungkin di pakai dan mempunyai daya guna dalam mewujudkan Good Governance.
a.       Pendekatan Eksperimental.
Salah satu cara yang banyak di pilih untuk mensosialisasika gagasan yang inovatif dalam mendorong partisipasi dan mewujudkan Good Governance adalah dengan cara melakukan eksperimen melalui proyek uji coba yang intensif. Uji coba ini banyak di pakai karena sebagai alat mobilisasi dukungan terhadap gerakan inovatif.
Contoh kasus: Di Indonesia, upaya pendekatan tersebut dikembangkan dalam program Break Trough Urban Initiatives For Local Development (BUILD). Mengembangkan inovasi manajemen perkotaan di Sembilan kota di Indonesia disebarkan melalui media BUILD dan website.
Terlepas dari itu semua, yang perlu di catat adalah bahwa berhasil atau tidaknya suatu pendekatan, khususnya eksperimental ini di tentukan dan di pengaruhi oleh kesinergian kerjasama antara ketiga pilar.

b.      Pendekatan partnership
Pendekatan partnership ini lebih kepada pengelolaan masalah public, yang bersifat partisipatif. Pengembangan perencanaan untuk kawasan Jatinangor adalah contoh tepat untuk hal ini, yang bertumpu pada partnership antar pilar dalam formulasi perencanaan dan kebijakan publik, implementasi, monitoring, dan mobilisasi kebutuhan sumber daya. Dengan pendekatan ini, para perencana tidak lagi sendiri tetapi menjadi fasilitator bagi terselenggaranya mekanisme dialog dan negosiasi dalam upaya mencapai kesepakatan menyeluruh dalam pengelolaan publik. Kawasan Jatinagor ini terletak di Kabupaten Sumedang Bandung yang dulunya merupakan kawasan perkebunan karet. Adanya kemauan atau kerjasama ini di latarbelakangi oleh situasi dan kondisi sosial ekonomi di kawasan Jatinangor yang mengalami perubahan yang signifikan. Kerjasama itu sendiri di namakan Forum Jatinangor yang melibatkan banyak pihak, di mulai dari pemerintah daerah setempat, institusi local seperti Universitas dan Perguruan Tinggi, baik Negeri maupun swasta, LSM, anggota dewan hingga tokoh masyarakat. Pertemuan pun di laksanakan dan menghasilkan rencana kerja 2001-2003 dan kesepakatan dalam bidang sosial ekonomi.
Pelajaran penting yang bisa di ambil dari pengalaman Jatinangor adalah membangun dan menumbuhkan kesadaran untuk mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak yang menjadi komponen Jatinangor. Forum Jatinangor mampu menyatukan kalangan Perguruan Tinggi, pemerintah, dan kelompok-kelompok masyarakat dikawasan Jatinangor untuk saling bekerjasama membangun dan memajukan Jatinangor agar menjadi kawasan yang demokratis, transparan, akuntabel, dan berwawasan lingkungan.

a.       Pendekatan Pelayanan.
Pendekatan pelayanan ini di maksudkan untuk memberikan pelayanan yang lebih partisipatif dan berorientasi pada klien. Untuk mengembangkan pelayanan yang bermutu di butuhkan adanya perubahan sikap dan ketrampilan baru diantara staff pemerintah dan klien mereka, serta perubahan lingkungan kelembagaan.
Pelayanan pemerintah perlu di desentralisasikan, lebih efisien dan efektif, melalui swastanisasi dan promosi pelayanan berbasis masyarakat, sehingga pemerintah dapat lebih berfokus pada fungsi mereka sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai contoh, kita ambil dari pengalaman proyek Deliveri di Bulukumba. Proyek ini adalah kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Ingris, yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas lembaga pelayanan pemerintah dalam menyediakan program yang lebih responsive dan berorientasi pelanggan. Proyek bekerja bersama Direktorat Jendral Produksi Peternakan (DJPP) di Jakarta dan Dinas Peternakan (DP) Propinsi dan Kabupaten di Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam 5 tahun kegiatannya, DELIVERI mengembangkan dan menguji berbagai pendekatan yang berorientasi kepada klien dan memberi pelayanan dan manajemen di tingkat lapangan, dan mengidentifikasi berbagai kendala kelembagaan dan menajemen dalam penerapannya. Proyek itu sendiri di latar belakangi dan bertujuan meningkatkan komitmen dan kapasitas untuk mengembangkan dan melaksanakan pelayanan peternakan yang lebih berorientasi kepada klien. Pendekatan-pendekatan yang di lakukan oleh proyek ini sangat beragam, di mulai dari perencanaan Kegiatan Peternakan oleh Masyarakat, kemudian studi pelayanan IB di tingkat lapangan, Juru kesehatan hewan, dan membentuk unit pelayanan teknis terpadu di Bulukumba. Proyek ini membuahkan hasil, antara tahun 1997 dan 1999, anggota kelompok DELIVERI mengalami banyak peningkatan di dalam penghasilan keluarga. Lima puluh delapan persen dari responden mengatakan bahwa peningkatan penghasilan (utamanya dari ternak) adalah salah satu manfaat terbesar dari program DELIVERI.
Pendekatan pelayanan yang di perkenalkan oleh DELIVERI telah membantu menjalin hubungan yang lebih terbuka antara staff lapangan dengan petani, serta petani memberikan nilai yang lebih besar terhadap pelayanan peternakan.Pendekatan ini juga telah membantu memberdayakan masyarakat yang bersangkutan, dan membantu mengembangkan rasa kekompakan sosial yang lebih tinggi, baik dengan anggota kelompok maupun non kelompok.

b.      Pendekatan teknologi dan Ilmu pengetahuan.
Pedekatan ini di maksudkan untuk memajukan, memaksimalisasikan pengetahuan yang sudah ada, baik dari Pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam hal teknologi. Pendekatan teknologi dan Ilmu pengetahuan di rasa tidak kalah pentingnya dengan pendekatan lainnya. Semakin berkembangnya dan kompleks suatu tatanan bangsa sudah selayaknya memerlukan system dan aturan yang membantu dalam proses kegiatan tiap pilar. Kerjasama dari luar merupakan solusi yang tepat dalam mewujudkan pendekatan tersebut, namun di perlukan kekompakan dari internal masing-masing pilar untuk bisa menerima dan menggunakan peran luar tersebut apakah cocok atau tidak jika di aplikasikan ke tiap kegiatan yang ada.
Sebagai contoh, paperless office yang sekarang menjadi pedoman atau cara dalam menyelesaikan tiap kegiatan, baik pemerintah maupun swasta sepertinya mendapatkan tempat di hati para pelaku kegiatan manajemen, selain bisa memangkas waktu dan biaya, Paperless mempunyai banyak keunggulan di bandingkan banyak system yang di gunakan sebelumnya.
Jika membicarakan tentang Teknologi, hal ini identik dengan Computing. Banyak hal yang mendorong para pelaku kerjasama dalam menggunakan cara tersebut, di antaranya ada empat pengaruh, yaitu:
Ø  Meningkatnya pengetahuan tentang Komputer. Selama awal tahun 1980-an dampak dari program-program pendidikan  di semua tingkat sangat signifikan
Ø  Antrian jasa Informasi. Maksudnya para spesialisas informasi mempunyai banyak pekerjaan dari pada yang dapat mereka tangani.
Ø  Perangkat keras yang murah. Pada periode yang sama, pasar dibanjiri oleh computer mikro yang murah. Para pemakai dapat memperoleh perangkat keras mereka sendiri dengan memesan pada toko computer local melalui telpon dan membayarnya dengan dana kas yang kecil.
Ø  Perangkat lunak jadi. Perusahaan-perusahaan perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software), keduanya memproduksi perangkat lunak yang mampu membantu dalam hal manajemen.
Keempat hal inilah sebenarnya, mau tidak mau membuat kehadiran tekonologi menjadi suatu kepentingan dan kebutuhan. Maka di perlukan arahan dan kebijakan dari masing-masing pilar untuk membangun suatu sinergi agar semua kegiatan yang menggunakan teknologi dapat maksimal sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya masing-masing dan tidak terjadi penyalahgunaan dalam penggunaan tekonologi yang ada.

Agar Good Governance menjadi kenyataan dan sukses, di butuhkan komitmen dari semua pihak, pemerintah, swasta, dan masyarakat. Good governance yang efektif menuntut adanya alignment (keselarasan, keserasian, dan keseimbangan) yang baik dan interpretasi, etos kerja dan moral yang tinggi, serta maksimalisasi prinsip-prinsip yang menjadi pokok terwujudnya Good Governance. Dengan demikian penerapan konsep Good Governance sebagai praktik yang baik dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan tantangan tersendiri, akan tetapi masih bisa dilaksanakan.
PP nomor 24 tahun 2005 menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan kebijakan publik. Artinya, anggaran yang di susun oleh pemerintah dan kemudian akan di syahkan oleh DPR haruslah mendapatkan persetujuan dari publik (Google tentang PP).
governance sebenarnya merujuk pada suatu upaya restrukturisasi atau reorganisasi dari kewenangan yang menciptakan tanggung jawab bersama diantara lembaga-lembaga di dalam governance baik di tingkat pusat, regional maupun lokal sesuai dengan prinsip saling menunjang yang di harapkan pada akhirnya adalah suatu kualitas dan efektifitas keseluruhan dari sistem governance tersebut termasuk peningkatan kewenangan dan kemampuan dari governance di semua tingkat yang ada.
Penjelasan-penjelasan di atas merupakan contoh bentuk upaya dalam menciptakan hal tersebut. Ada beberapa contoh kasus yang saya angkat, yang menunjukkan bahwa Good Governance telah  berfungsi sebagai suatu landasan atau dasar penerapan system manajemen kepemerintahan.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang sangat menyita perhatian saya, yaitu tentang etika. Tentang apakah para pelaksana yang telibat di dalam kerjasama antar pilar sudah bekerja tidak saja dengan menggunakan kepala tapi dengan hati? Apakah para pelaksana tersebut telah bekerja sebagai seorang ahli di bidangnya saja, atau juga seorang ahli yang berjalan sebagai manusia dengan ketakwaan kepada Ilahi, bahwa kemampuan yang mereka miliki haruslah untuk setinggi-tingginya digunakan untuk memuliakan namaNya? Entahlah, yang bisa tahu dan mengerti adalah individu masing-masing dan  ini hanya sedikit pernyataan dan pertanyan yang ada di benak saya mengenai apakah selain sudah terbentuknya suatu Good Governance di ruang lingkup sistemnya juga moral dan etika masing-masing pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

B. Mayer, The Dynamics of Conflict Resolution: A practitioner’s guide. 2000.

DR.Taliziduhu Ndraha, Pembangunan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.

Hetifah Sj Sumarto, Inovasi partisipasi dan Good Governance:20 prakarsa Inovatif dan    partisipatif di Indonesia, YAYASAN OBOR INDONESIA, Jakarta, 2004.
Iskandar Siregar, Pengelolaan Pemerintahan yang Bersandar pada Stakeholders, Harian Online   Kabar Indonesia, 06-Mei-2008, 18:05:42 WIB

J.S Edralin, The new local governance and capacity building, vol.3, 1997.

N. Henry, Public Administration and Public Affairs.1995.

Richardus Eko Indrajit, Ragam model bisnis kemitraan Pemerintah swasta:kunci sukses    pengembangan E-Government di Indonesia, artikel, 2008.

S.P Robbin, Teori Organisasi:Struktur, design dan aplikasinya, 1990.

Sujas, Manajemen birokrasi yang efektif, 2008.

Syed Hussein Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, 1987.

Tata Sutabri, S.Kom.,MM, Sistem Informasi Manajemen, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2005.

Yeremias T. Keban, Kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi:isu strategis,          bentuk, dan prinsip, Jakarta, 2008.